Ada itu?

Ada itu….

Sebelum manusia sempat bertanya apakah Tuhan ada (Is God exists), seharusnya menanyakan terlebih dahulu atau membersitkan pikiran tentang apa itu ada, ada itu apa.

Ironisnya dan tak terelakkan lagi, dalam pencarian akan apakah ada itu manusia sebenarnya telah menemukan jawabannya.

Yaitu dengan mengadakannya di pikiran, dalam pemikiran, dengan cara mengadakan sebuah pertanyaan tentang ada itu sendiri.

Jadi, sebenarnya ada itu tak dapat dipertanyakan, tak berspekulasi, tak beralasan. Karena ketika kita bertanya tentang ada, ternyata ada sudah mendahului bersitan pemikiran kita (adanya pertanyaan kita tentang ada).

Nah, soal pertanyaan tentang ada, kita menempatkan sebuah apa ketika kita menjadikan ada sebagai objek pemikiran kita, dan ketika kita mempersonalisasikan ada kita menempatkan kata tanya siapa.

Hmmm.. Ternyata selama ini kita telah salah pikir (logical fallacy). Bagaimana bisa kita menanyakan ada sedangkan kita sendiri ada? Atau, eksistensi kita telah mendahului pertanyaan kita atau dalam hal ini kesadaran kita.

Maka dari itu, seorang filsuf Rene Descartes sebenarnya kurang tepat dalam pernyataannya akan ada atau kesadaran ada:

aku berpikir, maka aku ada

(Benarkah pernyataan ini?)

Seharusnya adalah, sebelum manusia menyadari akan adanya dirinya, manusia sudah ada sebelum sempat menyadari akan keberadaannya, lebih tepatnya ketika kita bayi ataupun saat berumur cukup yang disitu kita hanya berperilaku tanpa berpikir, berfilosofi akan eksistensi diri.

Jadi seharusnya:

(adanya aku sehingga) aku berpikir, maka aku ada

ada di awal adalah eksistensi atau keberadaan kita sebelum sadarnya kita akan adanya kita.

Kemudian kita menyadari, sadar, berpikir, berfilosofi tentang diri kita (self), tentang adanya kita. Berpikir bahwa kita ini ber-ada, sedang ada.

Maksudnya juga seperti ini, aktivitas pikiran kita adalah adanya kita, baik itu pikiran kita menyadari eksistensi diri ataupun tidak.

Apakah Tuhan itu ada?

Saat manusia mempertanyakan apakah Tuhan ada, pertanyaan ini bahkan masih berspekulasi yaitu:

Mengapa pertanyaan tentang Tuhan mendahulukan prioritas ada?

Apakah Tuhan ada?

Is God exists?

Ini seperti menomorsatukan ada sebagai yang harus dipercayai, sebagai standar, sebagai dasar utama untuk percaya adanya Tuhan.

Apakah ini berarti manusia mengakui ada sebagai yang utama? Sebagai prima causa?

Bukankah ini berarti pertanyaan itu menuhankan ada?

Bagaimana mungkin dan apa hak manusia untuk menempatkan ada sebagai yang utama?

Hal ini bisa menjadi paradoks. Sebab manusia tak dapat mendeskripsikan ada.

ada itu tak terdefinisikan, tak terjelaskan, tak diketahui, tak dipahami, bahkan tak terpikirkan. Jika ada masih bisa dijelaskan, itu hanyalah usaha sia-sia, itu hanya akan memperbanyak ada. Menjelaskan yang tidak bisa dijelaskan. Menjelaskan yang jika berdefinisi justru malah ‘menduplikasi’, menggandakan ada. Sudah terjawab oleh dirinya sendiri.
Menjelaskan yang sudah terjawab oleh adanya ada.
Nah, sudah terjawab bukan? 🙂

Maka dari itu, Tuhan itu Sang Ada. Yang Ada. Yang Maha Mendahului adanya kita. Yang tak diketahui. Maha Ghaib. Tak dapat dipertanyakan. Tak berspekulasi. Karena ada menguasai segala sesuatu, melingkupi segala sesuatu yang bisa disebut sebagai ada atau eksis.

Karena itulah, saat manusia bertanya “Tuhan ada?” atau “is God exists?”, sebenarnya dia sudah bertemu, menemukan jawabannya. 🙂

Catatan: Disini saya mencoba berfilosofi dengan semaksimal mungkin tidak mengutip filsuf awal atau terkemuka. Agar jelas bahwa setiap kita berhak untuk berpikir, anda adalah siapa-siapa. Mereka filsuf-filsuf, saya, bukan siapa-siapa bagi anda dalam artian anda punya hak dan kebebasan memilih untuk berpikir dan mempercayai pemikiran anda sendiri, bahkan untuk tidak mempercayai pemikiran anda sendiri.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.